Call +62 214415609
WHAT'S NEW?
Loading...

Hari Peduli Autis Sedunia




AUTISM WE CARE

on . Posted in Kolom Pengurus
Oleh : Mustain, S.Psi, MM (cand) ( Executive Manager Autism Care Indonesia).

Artikel di bawah ini saya tulis 2 tahun silam saat masih mengelola ACI, sudah di posting di sini diposting kembali untuk merefres kesadaran kita bersama menghadapi tantangan penanganan ABK di Indonesia, moga bermanfaat.

Tidak lama lagi masyarakat dunia akan memperingati hari peduli autis sedunia yang jatuh pada pada bulan April mendatang. Autism merupakan satu dari tiga permasalahan (AIDS dan Diabetes) yang mendapat perhatian serius Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan diperingati secara khusus setiap tanggal 2 April diseluruh dunia, setelah diputuskan dalam Sidang Umum PBB, 18 Desember 2007 silam.

Autism adalah gangguan perkembangan yang menyebabkan anak mengalami keterbatasan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku (Asosiation Psychology America, 2005).Seringkali gangguan autisme juga disertai gangguan yang lain misalnya cacat fisik, cacat mental, epilepsi, dan gangguan lain yang berdampak pada kesulitan anak autis berkembang sesuai tahap perkembangannya.

Sampai saat ini, penyebab autism masih misterius, para ahli hanya bisa berasumsi bahwa penyebab gangguan autism adalah akibat dari; faktor awal perkembangan, faktor genetik, kelainan organic-neurologic-biologic seperti kerusakan otak. Lebih sering autisme disebabkan oleh kerusakan tidak berfungsinya otak dengan ketidaknormalan pada struktur otak (serebelum dan serebal kortek serta frontal dan temporal lobe) dan neorotransmiter seperti serotonin dan dopamine (Lainhart, 2006; Penn, 2006 dalam Santrock, 2008).

Jumlah Anak Autis

Angka pertumbuhan anak autis dunia dalam dekade terakhir sungguh mengkwatirkan, lihat saja pada awal tahun 2000 prevalensi penyandang autis masih 1:2.500 (Tanguay, 2005). Lima tahun kemudian pertumbuhan meningkat 400% menjadi 1 banding 625 (Mash & Wolfe, 2005). Th 2006, data statistik Amerika Serikat merelease perbandingan penderita autis 1:166 ini artinya meningkat 307% di banding tahun sebelumnya. Pada tahun 2007, Autism research Institute mengemukakan perbandingan anak autis dengan anak normal 1:150 dan dua tahun kemudian atau pada tahun 2009 Autism Speak, mengeluarkan data yang mengejutkan, yakni di setiap 100 kelahiran satu diantaranya adalah penyandang autism sehingga jumlah total anak penyandang autism dunia saat ini adalah 67 juta jiwa.

Di Indonesia sendiri sampai saat ini belum ada survey mengenai jumlah akurat anak penyandang autis, namun dari beberapa laporan para professional yang bergerak dalam penanganan anak autis diketahui pada lima tahun terakhir jumlah angka pertumbuhan anak penyandang autis juga meningkat pesat. Lihat saja pada tahun 2000, Dr. Melly Budhiman; menyatakan perbandingan anak 1:500,( Kompas: 2000).

Empat tahun kemudian Menteri Kesehatan saat itu, Ibu Siti Fadhilah Supari menyatakan jumlah anak penyandang autis adalah; 475 ribu, Pada 2006 (Dr Widodo Judarwanto SpA.09/2006) menyatakan perbandingan anak autis adalah 1:150 atau meningkat 300% dibanding tahun 2000. jika mengikuti prevalensi dunia yakni 1:100, secara agregrat, jika mengacu dari total jumlah anak usia 0-12 th di Indonesia yang saat ini berjumlah 52 juta (Diknas, 2009),maka jumlah anak penyandang autis di Indonesia saat ini adalah 532.000 ribu. Jika diprosentasi tingkat pertumbuhan dalam satu dekade terakhir maka di tiap tahun Indonesia kebanjiran 53.200 anak penyandang autis baru, atau sekitar 147 anak perhari.

Kendala di Lapangan

Tidak semua masyarakat kita mengetahui dan menyadari dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh spectrum autism ini. Minimnya sosialisaasi dan terbatasnya akses informasi tentu saja adalah faktor utama yang menyebabkan autism ini tidak begitu dikenali dan dimengerti oleh masyarakat luas. Beberapa kendala dalam penanganan anak berkebutuhan khusus terutama anak autism di antaranya;

Pertama : kurangnya pemahaman orang tua dengan spektrum autism. Bagi orang tua memiliki anak adalah anugerah, namun jika ternyata anak yang diharapkannya mengalami gangguan tertentu seperti autism ini adalah masalah, banyak dari orang tua yang sekuat tenaga mencari bantuan profesional; Dokter Anak, Psikiatri, Psikolog dan Terapis untuk membantu masalah perkembangan anaknya, dan tidak sedikit juga orang tua yang malah merasa malu dengan gangguan yang diderita anaknya, justru mereka malah memproteksi anaknya dari lingkungan sosialnya, ini adalah bencana bagi sang anak, karena semakin dini anak autis mendapatkan penanganan maka tingkat gangguan anak akan lebih cepat diminimais dan potensi anak dapat teroptimalkan dan begitu juga sebaliknya, jika diproteksi hanya akan memperparah gangguan yang dialami anak.

Kedua : Ketersedian Sumber Daya.Tingginya angka pertumbuhan anak penyandang autis yang tidak diimbangi dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia (Dokter Anak, Psikiater, Psikolog, terapis, Guru Pendamping Khusus/GPK) tentu saja akan menimbulkan banyak masalah. Minimnya sumber daya professional dikarenakan Universitaas yang menyelenggarakan peminatan pada gelar profesi tersebut memang terbatas dan tentu saja dibutuh waktu lama untuk memperoleh jenjang profesi tersebut. Karena permintaan banyak dan ketersediaan terbatas mengakibatkan melambungnya biaya penanganan anak autis. Jika standar penanganan anak autis adalah 8 kali perbulan dan biaya terapi persesi berkisar 150-300 ribu, anda tentu bisa membanyangkan berapa biaya yang dikeluarkan oleh orang tua anak peyandang autis. padalah treatment yang diberikan untuk membantu mengejar kemandirian sang anak harus kontinyu di rentang kehidupannya. Bagi anak penyandang autis dari keluarga non sejahtera, ini adalah bencana.

Ketiga : Pandangan Miring Masyarakat; anggota masyarakat juga masih banyak yang menganggap kelompok rentan dan berkebutuhan khusus sebagai orang yang tak layak masuk dalam ruang publik. Wujudnya, pandangan sinis hingga sikap yang secara langsung maupun tidak langsung mengeliminasi anak berkebutuhan khusus dari kehidupan sosial. Banyak juga dari orang tua keberatan anak berkebutuhankhusus bersekolah disekolah regular. Mereka takut jika apa yangdialami abk menulari anaknya. Padahal Autism bukanlah penyakit apalagi penyakit yang menular autism hanya gangguan perkembangan yang jika ditangani sedari dini akan lebih baik. Perlu sosialisassi yang ektsensif dan kontinyu baik oleh pemerintah maupun masyarakat dalam mengkampanyekan penyadaran dan penanganan autism sedari sedini.

Keempat : Pendidikan untuk Anak Penyandang Autis. Sekolah/kursus yang menyelenggarakan pendidikan khusus untuk anak autis jumlahnya sangat terbatas dan hanya orang tua yang berkantong tebal yang mampu menyekolahkan anaknya, karena dibutuhkan biaya yang sangat mahal untuk menyekolahkan anaknya di sekolah khusus, bisa jadi 10 kali lipat biaya pendidikan untuk anak normal. Adanya pendidikan murah dan gratis untuk anak autis di tingkat SD-SMP juga tidak sepenuhnya bisa menampung mereka, karena tidak semua anak autis memiliki kapasitas untuk siap bersekolah disekolah umum dan tentu saja mereka masih butuh terapi di klinik-klinik tumbuh kembang, disisi lain jika anak sudah siap mengikuti pendidikan regular, mereka juga tidak bisa, karena kebanyakan sekolah inklusi sudah penuh dan keberadaannya juga terbatas.

Himbauan Menteri Pendidikan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi (anak autis bersekolah di sekolah umum) di seluruh Sekolah Negeri tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia realisasinya masih jauh panggang daripada api, karena himbauan tersebut tidak disertai program yang mendukungnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusi hanya efektif berada di kota-kota besar, karena untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi diperlukan supervisi, program dan sumber daya dan sumber dana yang memadahi dan tentu saja tidak semua lembaga pendidikan regular setingkat SD-SMP bisa memenuinya.

Kebijakan Publik

Adanya regulasi tentang anak berkebutuhan khusus dan penyandang cacat lainnya, yakni UU 4/1997 dan diperkuat lagi dengan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang di dalamnya diatur soal anak-anak penyandang cacat. Dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang didalamnya dinyatakan bahwa Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan & setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar. Namun, dalam kenyataannya instrumen legal ini belum dapat diimplementasikan secara efektif. Karena kebijakan tersebut belum jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; dan kurangnya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak. Kenyataannya, sejumlah aturan yang mengharuskan keberpihakan pada penyandang cacat tidak dipatuhi, baik oleh masyarakat, kalangan swasta maupun pemerintah sendiri.

Yang lebih memilukan adalah pemangkasan anggaran pendidikan untuk anak-anak penyandang cacat oleh Departemen Pendidikan Nasional Th 2008. Kebijakan pemerintah memangkas anggaran pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat dari Rp 300 miliar pada tahun anggaran 2007 menjadi Rp 130 miliar untuk anggaran 2008, jelas merupakan langkah diskriminatif. (Edi Suharto, PhD, 2008). Mereka seharusnya mendapat perhatian khusus atau minimal sama dengan anak biasa (normal) bukan malah dikurangi. Walaupun pemerintah menjanjikan akan memberikan insentif bagi sekolah regular yang menerima anak berkebutuhan khusus, maka akan mendapatkan insentif dalam bentuk pendampingan program dan pelatihan tata laksana penyelengaraan pendidikan inklusi, namun posisinya tetap saja mentok sebatas menjanjikan (03/03, Kompas)

Selain persoalan UU yang ada belum diimplementasikan sebagaimana mestinya, Keempat kendala diatas adalah penting untuk segera diselesaikan, Kalau masalah tersebut tidak segera tertangani, maka; nasib masa depan anak-anak Indonesia akan terancam, karena anak adalah pencitraan dari kepastian masa depan kita, jika mereka tumbuh dan berkembang dengan baik tentu saja masa depan menjelang akan lebih cerah dan begitu juga sebaliknya. Pemangku kebijakan terkait, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial dan Kementerian Pendidikan dan pihak terkait lainnya harus dengan sigap duduk bersama merumuskan solusi masalah tersebut, karena autism adalah spectrum yang paling cepat pertumbuhannya di dunia. Mengabaikan masalah tersebut adalah bentuk ketertinggalan pemerintah yang tidak bisa dimaklumi. ref

0 komentar:

Posting Komentar