Sebagian besar teknik terapi bermain yang dilaporkan dalam literatur menggunakan basis pendekatan psikodinamika atau sudut pandang analitis. Hal ini sangat menarik karena pendekatan ini secara tradisional dianggap membutuhkan komunikasi verbal yang tinggi, sementara populasi autistik tidak dapat berkomunikasi secara verbal. Namun terdapat juga beberapa hasil penelitian yang menunjukkan penggunaan terapi bermain pada penyandang autisme dengan berdasar pada pendekatan perilakuan (Landreth, 2001).
Salah satu contoh penerapan terapi bermain yang menggunakan pendekatan perilakuan adalah The ETHOS Play Session dari Bryna Siegel (Schaefer, Gitlin, & Sandgrund, 1991).
Terdapat beberapa contoh penerapan terapi bermain bagi anak-anak autistik, diantaranya adalah (Landreth, 2001):
1. Terapi yang dilakukan Bromfield terhadap seorang penyandang autisme yang dapat berfungsi secara baik. Fokus terapinya untuk dapat masuk ke dunia anak agar dapat memahami pembicaraan dan perilaku anak yang membingungkan dan kadang tidak diketahui maknanya. Bromfield mencoba menirukan perilaku obsessif anak untuk mencium/membaui semua objek yang ditemui menggunakan suatu boneka yang juga mencium-cium benda. Apa yang dilakukan Bromfield dan yang dikatakannya ternyata dapat menarik perhatian anak tersebut. Bromfield berhasil menjalin komunikasi lanjutan dengan anak tersebut menggunakan alat-alat bermain lain seperti boneka, catatan-catatan kecil, dan telepon mainan. Setelah proses terapi yang berjalan 3 tahun, si anak dapat berkomunikasi secara lebih sering dan langsung.
2. Lower & Lanyado juga menerapkan terapi bermain yang menggunakan pemaknaan sebagai teknik utama. Mereka berusaha masuk ke dunia anak dengan memaknai bahasa tubuh dan tanda-tanda dari anak, seperti gerakan menunjuk. Tidak ada penjelasan detil tentang teknik mereka namun dikatakan bahwa mereka kurang berhasil dengan teknik ini.
3. Wolfberg & Schuler menyarankan penggunaan terapi bermain kelompok bagi anak-anak autistik dan menekankan pentingnya integrasi kelompok yang lebih banyak memasukkan anak-anak dengan kemampuan sosial yan tinggi. Jadi mereka memasangkan anak-anak autistik dengan anak-anak normal dan secara hati-hati memilih alat bermain dan jenis permainan yang dapat memfasilitasi proses bermain dan interaksi di antara mereka. Fasilitator dewasa hanya berperan sebagai pendukung dan mendorong terjadinya proses interaksi yang tepat.
4. Mundschenk & Sasso juga menggunakan terapi bermain kelompok ini. Mereka melatih anak-anak non-autistik untuk berinteraksi dengan anak-anak autistik dalam kelompok.
5. Voyat mendeskripsikan pendekatan multi disiplin dalam penggunaan terapi bermain bagi anak autisme, yaitu dengan menggabungkan terapi bermain dengan pendidikan khusus dan melatih ketrampilan mengurus diri sendiri.
Efektivitas Terapi Bermain Bagi Penyandang Autisme, Efektivitas penggunaan terapi bermain masih cukup sulit diketahui karena sampai saat ini kebanyakan literatur masih memaparkan hasil kasus per kasus. Namun Bromfield, Lanyado, & Lowery menyatakan bahwa klien mereka menunjukkan peningkatan dalam bidang perkembangan bahasa, interaksi sosial, dan berkurangnya perilaku stereotip, setelah proses terapi. Mereka dikatakan juga dapat mentransfer ketrampilan ini di luar seting bermain.
Wolfberg & Schuler menyatakan bahwa model terapi bermain yang terintegrasi dalam kelompok juga dapat berhasil, dimana program ini ditujukan untuk meningkatkan interaksi sosial dan melatih ketrampilan bermain simbolik. Mundschenk & Sasso juga melaporkan hal yang sama.
Artikel
WHAT'S NEW?
Loading...
0 komentar:
Posting Komentar