Pendidikan Seks untuk Remaja dengan Autisme
Oleh: Margaretha
Dosen Pengajar Psikologi Abnormal
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Masa remaja adalah salah satu tahap perkembangan alamiah yang terjadi pada manusia. Perubahan fisik dan kematangan seksual menjadi salah satu tantangan penting yang terjadi di dalamnya. Tidak terkecuali, bagi remaja dengan autisme.
Sering muncul pemahaman yang salah, bahwa remaja dengan autisme tidak memiliki ketertarikan seksual dan tidak tertarik pada relasi intim. Namun kenyataannya, sama seperti remaja pada umumnya, ketika masuk masa remaja, mereka juga mengalami hasrat dan muncul perilaku seksual. Sama seperti remaja pada umumnya, hal ini terkait dengan perubahan hormon seksual di dalam tubuhnya.
Anak dengan autisme juga mengalami perkembangan kemasakan fisik dan seksual pada masa remaja. Ada sebagian anak dengan autisme yang mengalami hambatan perkembangan minat seksual, namun ada pula yang berkembang seperti anak pada umumnya. Namun yang berbeda adalah, perubahan fisik seksual ini tidak disertai dengan kematangan pemahaman sosio-emosional. Akibatnya, dapat terjadi perilaku seksual yang tidak sesuai dengan aturan sosial sehingga perilaku seksual remaja dengan autisme terlihat menyimpang atau memalukan, misalkan: melakukan masturbasi di tempat umum karena tidak mampu menahan hasrat. Bahkan juga sering dilaporkan perilaku agresif akibat ketidakmampuannya mengelola perubahan hormonal dalam tubuhnya. Hal-hal ini akan menyebabkan kebingungan orang tua dan pendidik remaja dengan autisme, karena tidak tahu bagaimana cara menghadapi fenomena seksualitas pada remaja dengan autisme.
Tulisan ini akan mengulas mengenai apa dan bagaimana cara memberikan pendidikan seks pada remaja dengan autisme.
Ketika perilaku seksual pada remaja dengan autisme muncul
Penelitian oleh Sullivan dan Caterino (2008 dalam Autism Independent, 2014) menemukan bahwa sekitar 75% orang dengan autisme melakukan perilaku seksual dan masturbasi. Lebih lanjut, mereka menjelaskan bahwa keberhasilan remaja memahami seksualitasnya akan mendukung proses transisinya mencapai masa dewasa. Temuan-temuan ini menunjukkan betapa pendidikan seks penting diberikan bagi remaja dengan autisme. Namun pendidikan seks bagi remaja dengan autisme harus disusun secara khas berbeda dengan remaja pada umumnya.
Pendidikan seks bagi remaja dengan autisme harus membentuk perilaku seksual anak secara sistematis, dalam pendekatan terstruktur dan dengan kata-kata yang konkret. Hambatan pemahaman sosial dan kemampuan interaksi sosial timbal-balik yang dimiliki remaja dengan autisme membuat mereka kesulitan melakukan penilaian sosial (social judgement) mengenai kapan dan bagaimana melakukan perilaku seksual yang diharapkan oleh masyarakat. Akibatnya mereka dapat melakukan hal-hal yang dianggap menyimpang, seperti: perilaku seksual di tempat umum, secara berlebihan tertarik atau membicarakan topik seksual, atau kurang memahami cara-cara menjaga kesehatan reproduksi (Kalyva, 2010 dalam Autism Independent, 2014).
Berikut adalah beberapa gejala yang mengindikasikan perubahan seksualitas remaja dengan autisme:
1. Menyentuh bagian tubuhnya di depan publik umum
2. Membuka pakaian di tempat umum
3. Berbicara terus menerus mengenai topik seks
4. Echolalia tentang istilah seks
5. Menyentuh orang lain di bagian tubuh privat
6. Sikap tubuh tidak senonoh
7. Mengintip rok, pakaian dalam
8. Berdiskusi tentang topik seks secara tidak proporsional
9. Celetukan seks yang tidak tepat
Ketika masuk masa remaja, anak dengan autisme dapat menunjukkan minat terhadap interaksi sosial dan relasi intim. Biasanya, di komunitas di Amerika dan Eropa, orangtua dan pendidik akan menyampaikan pada remaja dengan autisme bahwa ekspresi seksualitas dalam wadah relasi intim adalah normal (Koller, 2000 dalam Autism Independent, 2014). Maka mereka akan melatih remaja untuk membangun relasi intim yang proporsional. Yang dapat kita pahami mengenai seksualitas dan autisme ini adalah bahwa selain mengajarkan konsep seksualitas, penting juga untuk melatih kemampuan menjalin interaksi sosial bagi remaja dengan autisme. Harapannya ketika remaja dengan autisme dapat membangun relasi intim secara lebih efektif maka perilaku seksualitasnya di dalam relasi intim menjadi lebih sehat.
Mengapa perilaku seksual muncul
Pada remaja dengan autisme, perilaku seksual tidak memulu dilakukan demi pemenuhan kebutuhan seksual. Berikut adalah alasan munculnya perilaku seksual:
1. Cara untuk menurunkan kecemasan atau stress
2. Satu-satunya cara mencapai kepuasan atau kesenangan yang bisa segera diakses oleh si remaja dengan autisme
3. Kebutuhan perangsangan sensoris, dan organ intim memberikan pemenuhan rangsang sensoris yang cukup tinggi
4. Membuat remaja merasa nyaman untuk melakukan rutin seksual
Berikut adalah beberapa pertimbangan yang biasanya membuat cemas orang tua dan pendidik ketika melihat perilaku seksual remaja dengan autisme:
1. Meniru perilaku seks orang dewasa di sekitarnya
2. Menggunakan seks sebagai cara untuk menjalin relasi sosial
3. Pengalaman mengalami pelecehan seksual
4. Anak menggunakan informasi seksual untuk menjalin relasi sosial
5. Perubahan perilaku seksual disebabkan medikasi/minum obat yang mempengaruhi sistem hormonnya
Kemampuan dasar yang perlu diajarkan pada remaja dengan autisme adalah keahlian diskriminasi atau membedakan. Remaja diajarkan kapan dan di mana boleh melakukan masturbasi, menyentuh tubuhnya sendiri, menyentuh tubuh orang lain, dan perilaku yang terkait dengan seksualitas lainnya. Remaja perlu belajar untuk memahami aturan-aturan sosial yang mengatur pemenuhan kebutuhan seksual dirinya dan orang lain di masyarakat.a
Dalam menyusun program pendidikan seksual, kita juga perlu mempertimbangkan kemampuan komunikasi anak, baik reseptif dan ekspresifnya. Misalkan, jika anak mengalami hambatan dalam kemampuan reseptif verbal, maka alat bantu komunikasi visual juga dapat digunakan. Prinsip metode pembelajaran perilaku baru dengan analisis perilaku fungsional (functional behavioral analysis) dapat diterapkan dalam membentuk perilaku seksual ini. Untuk melatih kemampuan seksual ini, dapat digunakan teknik modifikasi perilaku menggunakan reinforcement dan time out ketika remaja melakukan kesalahan.
Pendidikan seks pada remaja dengan autisme
Perilaku seksual termasuk jati diri, emosi, sikap, kepercayaan, perilaku dan relasi sosial yang terkait dengan seksualitas. Oleh karena itu, penting dipahami yang dimaksud dengan pendidikan seksual bukan hanya pemberian informasi mengenai apa dan bagaimana seksualitas. Namun juga penting dikenalkan mengenai pemahaman diri anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan seksual dan emosi-emosi tertentu yang hadir ketika hasrat seksual muncul di tubuhnya. Juga tak kalah penting adalah pembelajaran mengenai bagaimana menjalin relasi intim yang penting dalam konteks seksual.
Terkait dengan kesehatan reproduksi, dalam pendidikan seks untuk remaja dengan autisme juga perlu dilatih cara-cara menjaga kebersihan organ intim secara mandiri. Misalkan, remaja diajari mengenai hal-hal yang harus dilakukan ketika mengalami mimpi basah (untuk remaja laki-laki) dan mengelola kebersihan organ intim ketika mengalami masa menstruasi (untuk remaja perempuan). Remaja juga perlu diajari dengan kemampuan membedakan sentuhan- sentuhan wajar dan tidak wajar, terutama untuk membekali kemampuan untuk menolak pelecehan seksual. Misalkan, remaja diajari bagian tubuhnya yang privat yang tidak boleh disentuh orang lain kecuali pada pemeriksaan kesehatan atau dilakukan hanya oleh orangtua.
Autism independent, sebuah lembaga pemerhati autisme , menyampaikan bahwa terdapat 4 prinsip yang perlu dipahami oleh orang tua dan pendidik remaja dengan autisme, yaitu:
1. Remaja atau dewasa dengan autisme, dengan berbagai tingkat keberatan gejala (level of severity) akan mengalami dorongan seksual, perilaku seksual, atau perasaan yang terkait dengan seksualitas mereka. Dan ketika mereka mulai mengalami hal tersebut, mereka akan membutuhkan bantuan. Misalkan, remaja dengan autisme yang mulai merasakan dorongan seksual mungkin membutuhkan bantuan mengenai bagaimana melakukan masturbasi di ruang privat dan cara menahan dirinya agar tidak menyentuh dirinya ketika mengalami dorongan seksualitas di depan publik.
2. Kerjasama dengan orangtua dalam memberikan pendidikan seks pada remaja dengan autisme adalah sangat penting. Berbagai persoalan terkait dengan perilaku seksual remaja dengan autisme akan tampak di berbagai konteks hidup anak, oleh karena itu penting dibangun kerjasama efektif antara orangtua dan guru serta pendamping dalam menangani perilaku seksual anak ketika muncul.
Waktu ideal pemberian pendidikan seks adalah menjelang anak masuk usia pubertas. Namun pengelolaan seksualitas juga dapat dimulai lebih dini, terutama ketika anak mulai menampilkan perilaku-perilaku terkait dengan seksualitas. Segera setelah muncul perilaku seksual pada anak, maka pendidikan seks sudah perlu diperkenalkan.
Sering orangtua kaget dan tidak siap menghadapi perubahan seksualitas anaknya dan berharap guru yang akan melakukan pendidikan seks. Baiknya, ada pembicaraan antara guru dan orangtua sebelum merancang pendidikan seks untuk remaja dengan autisme. Pendidik anak dapat melakukan konseling dan psikoedukasi agar orangtua dapat memahami fase perkembangan remaja dan juga membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan orantua tentang apa dan bagaimana cara mengajarkan seksualitas pada anaknya yang sesuai dengan tahap perkembangan anaknya.
Pendidik juga perlu mempertimbangkan nilai-nilai yang dianut orangtua dalam menyusun materi pendidikan seks bagi remaja. Orangtua juga perlu mempertimbangkan bagaimana perasaan mereka mengenai nilai-nilai yang mereka anut dalam mengatur perilaku supaya dapat juga selaras untuk menyelesaikan persoalan perilaku seksual remajanya, misalkan: jika nilai keluarga berpandangan bahwa masturbasi adalah dosa maka mereka sangat tidak nyaman untuk mengajari remajanya untuk masturbasi, maka orangtua dan pendidik perlu mendiskusikan bagaimana cara orangtua yang paling tepat untuk membantu remaja dengan autisme untuk mengelola seksualitasnya secara konkret.
3. Pendidikan seks bagi remaja dengan autisme dilakukan secara sistematis untuk membentuk ritual baru, sama seperti membentuk perilaku belajarnya yang lain. Anak dengan autisme belajar melalui proses yang terstruktur dan konkret, juga harus disesuaikan dengan kebutuhan personal masing-masing anak. Bahasa yang disampaikan juga harus konkret dan jelas. Membicarakan seksualitas sering membuat kita berbicara dengan simbol atau kata dengan makna tersirat bahkan dengan emosi. Hal itu harus dihindari dalam pendidikan seks remaja dengan autisme, misalkan: orangtua malu ketika harus menyebutkan proses seksual dan bagian genital sehingga menggunakan sebutan atau penjelasan yang tidak konkret, hal ini membuat remaja menjadi tidak dapat memahami konsepnya secara jelas. Caranya, orangtua dan pendidik harus menyadari bagaimana reaksi mereka dalam membicarakan seksualitas, lalu dikelola agar tidak menghambat pendidikan seks. Lalu keduanya bekerjasama untuk menyusun program pendidikan seks yang terstruktur dan sesuai dengan kebutuhan remajanya.
4. Menyiapkan lingkungan sosial juga penting. Tidak cukup hanya menyiapkan remaja tentang konsep dan proses seksualitas, namun masyarakat juga perlu dipersiapkan untuk memahami perilaku seksualitas remaja dengan autisme. Masyarakat yang tidak memahami sering memberikan label negatif dan intoleransi pada perilaku remaja dengan autisme. Psikoedukasi mengenai perilaku seksual remaja dengan autisme dapat dilakukan untuk memberikan pemahaman bagi orang-orang yang hidup di sekeliling anak.
Berikut adalah strategi menghadapi perilaku seksual remaja dengan autisme (Hayward & Sanders, 2010), yaitu:
1. Menyediakan aktivitas (non-seksual) yang menyenangkan
2. Mengidentifikasi stressor remaja dan megurangi tekanan mereka tersebut
3. Memberikan remaja untuk memiliki kemampuan berkomunikasi, mencari perhatian, serta mengekspresikan emosinya
4. Tentukan rutin sehari-hari yang dapat diprediksi remaja
5. Menyediakan aktivitas yang merangsang kebutuhan sensorisnya sesuai dengan kebutuhan sensoris individual remaja
6. Ajari keahlian sosial untuk menjalin persahabatan
7. Memberikan kesempatan berinteraksi sosial sehari-hari
8. Melakukan pemeriksaan medis rutin pada organ intim remaja, terutama jika diketahui adanya perilaku merangsang bagian anal
9. Perkenalkan remaja dengan waktu pribadi untuk melakukan masturbasi
10. Hargai ruang pribadi remaja dan ajari bahwa mereka dapat menggunakan ruang pribadi ketika membutuhkannya untuk masturbasi atau melepas pakaian (kamar mandi pada waktu tertentu, atau kamar pribadinya)
11. Gunakan pendekatan ‘cerita sosial’ untuk menjelaskan konsep seksualitas pada remaja
12. Gunakan pendekatan ‘shaping’ untuk membentuk perilaku seksual yang sudah dimilikinya agar menjadi lebih adaptif, misalnya: ketika anak terlihat masturbasi di ruang tamu, segera arahkan remaja untuk menuju kamar pribadinya.
Simpulan
Samahalnya remaja pada umumnya, remaja dengan autisme juga mengalami perubahan fisik dan seksualitasnya. Namun dengan hambatan interaksi sosial dan emosional, membuat remaja dengan autisme perlu dibantu untuk dapat mengembangkan perilaku seksual yang sesuai dengan kesepakatan sosial di masyarakat.
Orangtua dan pendidik perlu bekerjasama untuk menyusun program belajar perilaku seksual secara sistematis dan terstruktur. Hal ini ditujukan agar terciptanya suatu belajar rutin baru, perilaku seksual yang akan dilakukan remaja untuk mengelola hasratnya.
Remaja dengan autisme perlu dikenalkan dengan diskriminasi konteks yang tepat untuk melakukan perilaku seksual, menumbuhkan kemampuan menjaga kesehatan reproduksi, dan juga mengembangkan kemampuan interaksi sosial. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah pembuatan cerita sosial.
Remaja dengan autisme yang memperoleh pemahaman yang cukup optimal mengenai seksualitasnya akan meningkatkan keberhasilannya untuk mencapai tugas perkembanan di masa dewasa.
Referensi
Hayward, B., & Sanders, K. (2010). Sexual Behaviours of Concern in Young People with Autism Spectrum Disorders. Dipresentasikan di 10th Annual DSW Conference Melbourne, 17-18th November 2010. Diakses dihttp://www.asid.asn.au/portals/0/conferences/dsw10/dsw10confpapers/hayward_sexualbehaviours.pdf pada tanggal 3 September 2014.
Autism independent (2014). Sexuality and Autism: Matching Programmes to Levels of Functioning. Diakses di http://www.autismuk.com/?page_id=1290pada tanggal 3 September 2014.
0 komentar:
Posting Komentar